Semua
orang tahu merokok itu berbahaya bagi kesehatan, anak SD pun pasti tahu. Soal mereka masih
tetap merokok seolah tiada hari tanpa
rokok itu adalah masalah lain. Pada dasarnya setiap manusia memiliki
pengetahuan yang cukup untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tak patut
dikerjakan. Perkara ia mau mengikuti nuraninya atau malah mengikuti nafsunya
itu adalah soal lain. Saya rasa Fir’aun pun tahu tubuhnya terlalu kecil untuk
disebut sebagai Tuhan, masalah ia mau mengakuinya secara jujur dan ternyata ia
lebih memilih bertahan pada kesombongannya itu pun dua hal yang berbeda.
Seperti
yang sudah saya katakan pada artikel Kabar Baik Buat Perokok membahas rokok tidak akan ada
habis-habisnya. Rokok bagaikan Cinta
sama jumlah hurufnya sama juga candunya. Atau seperti yang pernah orang bilang,
hanya ada dua jenis menusia di dunia ini, perokok dan bukan perokok. Kalaupun
ada diluar jenis itu, mereka pastilah orang yang mencari keuntungan diatas
penderitaan orang lain dan yang jenis ini tidak dapat dimasukkan dalam kategori
manusia. Dan debat antara perokok dan bukan perokok inilah yang membuat masalah rokok ini takkan pernah ada
habisnya.
Wawancara dengan Perokok
Pernah
suatu malam saya melakukan wawancara tidak resmi (bahasa gampangnya :
nanya-nanya) pada pemilik Warteg langganan saya. Kebetulan malam itu ada berita
pro dan kontra kenaikan harga rokok. Awalnya si pemilik Warteg (Warung Tegal)
mengajak saya berdiskusi katanya
“Sampean
pasti setuju kalau harga rokok naik,
yang bukan perokok udah pasti setuju”
Dia
tahu saya tidak merokok, sebagai penjual yang baik si pemilik Usaha pengenyang
perut ini memang harus mengenal konsumennya. Meskipun baru datang dan belum
dilayani saya tetap menjawab
“Ya
bagaimana ya pak, saya sebenarnya paham perokok tak mungkin bisa langsung berhenti merokok soalnya saya dulunya
juga pernah merokok” si pemilik warung manggut-manggut antara setuju dan gagal
paham.
“Yang
bikin miris itu sebenarnya anak sekolah, dan pewarung serta minimarket yang
menjual rokok pada anak dibawah umur” selesai berargument saya menyantap nasi
dengan lauk telor ceplok, kentang dan sayur singkong, formasi menu yang pas
untuk makan malam.
“Sampean
benar, melihat anak sekolah merokok
apalagi yang masih SMP memang selalu bikin miris tak terkecuali bagi saya yang
perokok ini”
Saya
senang meski berada pada jalur yang berseberangan (perokok-bukan perokok)
ternyata masalah pelajar ini kami punya pandangan yang sama. Saya menyantap
makan malam dengan lahap. Sesekali saya melihat berita di tv yang terus
bergulir dari topik satu ke topik yang lain.
“Seandainya
harga rokok naik bagaimana menurut bapak, apa bapak sudah punya alternatif
lain, ngelinting misalnya?”
“Kalau
harga rokok naik sudah pasti mikir, beribu kali mikir. Kalau saya lebih baik
berhenti, atau ngisap permen aja kalau mulut sedang kering”
“Jangan
khawatir pak, kan masih ada kopi”
“Sampean
ini bagaimana justru kalau minum kopi pengennya ngerokok!”
Akhirnya
saya tahu bapak ini seorang penikmat kopi hitam, yang saya belum tahu adalah
sejauh mana hubungan gelap antara segelas kopi
hitam dengan kecanduan merokok.
“Sehari
habis berapa bungkus pak, setiap hari merokok pernah sakit pak?”
“Biasanya
paling habis sebungkus, misalkan beli malam ini ya ketemu malam lagi. Lain
cerita kalau lagi nongkrong”
Bapak
ini memang gaul, terbukti dari kefasihannya berbahasa Sunda yang jelas bukan
bahasa yang ia bawa dari Tegal.
“Dulu
saya pernah sakit”
Sambil
memegang dada kanan dengan kedua tangannya ia mengenang masa kritis itu
“saya
sempat dibawa ke rumah sakit, dada ini rasanya sakit sekali. Sejak kejadian itu
saya berhenti merokok”
Wajah
saja berubah dengan cepat dari tegang ke lega.
“Saya
berhenti mengisap rokok kretek
sekarang rokok saya filter”
Saya
tidak merasa ditipu justru saya merasa iba sekaligus sadar, betapa seorang perokok sangat sulit merubah kebiasaannya meski penyakit paru-paru
pernah menyiksanya. Saya jadi teringat pada sebuah film berlatar kota mati pada
pertengahan abad 19. Seorang tentara nazi yang ditugaskan menjaga wilayah
pertahanan sekutu yang sebenarnya sudah menjadi puing. Tetapi karena suatu
alasan Hitler memerintahkan agar wilayah itu tetap dijaga, sementara sekutu seperti
nyamuk seolah tak ada habisnya mati satu yang lain datang merebut kembali
wilayah itu. Tentara berseragam khas Nazi itu sedang bersembunyi di balik sisa
bangunan. Bosan dengan keadaan yang sunyi tentara itu menyalakan sebatang rokok
lalu mengisapnya dalam-dalam. Sebentar kemudian asap mengepul, meliuk-liuk,
menampakkan bentuk yang aneh.
Kisah Seorang Tentara Mati Karena Mengisap Rokok
Dari
pihak sekutu, seorang penembak jitu atau sniper ditugaskan untuk mempertahankan
wilayah itu. Wilayah yang apabila benar-benar jatuh ke tangan Jerman maka
kemungkinan besar sekutu akan kehilangan statusnya sebagai negara, yang tersisa
hanya sejarah. Sniper bermata elang itu tahu betul betapa tugasnya sebagai juru
kunci sangat vital, maka ia rela berjam-jam mematung, bersatu padu dibawah
timbunan puing-puing bangunan. Ia rela menjadi bagian tak terpisahkan dari
puing-puing itu. Yang bergerak liar kekanan dan kekiri hanyalah senapannya. Senjata
yang mampu menembus jantung musuh dari jarak 500 ratus meter itu bergerak cepat
menyusuri sisa-sisa bangunan yang biasa dijadikan tempat berlindung, sekalipun gerakannya
cepat namun tetap sunyi bagai sungai yang dalam, menghanyutkan tapi diam. Seorang
sniper yang baik harus mampu membuat dirinya seperti bunglon bahkan lebih dari itu,
seperti jin, tak kasat mata. Gerak nafas harus dalam tempo yang lambat dan
teratur, jangan sampai lalat yang hinggap terbang sebab hembusan nafas apalagi
gerak tubuh.
mati setelah merokok |
Angin
yang bertiup pun tak tahu seorang penembak jitu dari pihak sekutu yang selamat
dari kematian karena tubuhnya tertimbun mayat tentara dari pihaknya sendiri
tengah bersiap membidik musuhnya. Ia tidak melihat seragam apalagi bagian tubuh
yang ia lihat hanyalah asap rokok. Namun sebagai seorang sniper yang kelak
namanya akan dicatat dalam sejarah tahu bagaimana menyampaikan pesan kematian
pada musuhnya diseberang sana. Ia membidik tembok yang rapuh, karena tembok
yang rapuh tak ubahnya seperti celah atau lubang yang mampu dilintasi peluru
dengan mulus. Tubuh musuh tersungkur lalu mati hanya dengan satu tembakan. Tembok
itu diam seolah tak terjadi apa-apa angin yang bertiup tiba-tiba diam, hanya
rokok yang masih menyala itu yang bicara pada tuannya.
“Anda mati karena merokok”
0 Komentar
Penulisan markup di komentar