Musik simponi
terdangar sayup-sayup dan semakin lama semakin jelas. Wajah Ayu cerah seketika,
sambil menyeka linang air mata di wajahnya sekenanya ia menyambar telepon
genggam yang sejak tadi ia cari.
“Assalamu
Alaikum… Ayu..?”
Suara dari telepon
itu terdengar pelan dan damai, namun sangat jelas bagi Ayu. Tak mampu lagi ia membendung
air mata yang berhamburan diatas lantai. Ia sesenggukan, berusaha mengumpulkan
tenaga untuk bicara
“Wa Alaikum
Salam, Ibu..”
“Apa kabarmu
nak, kenapa menangis ? sakit kah kau Yu ?”
Sambil
terisak, Ayu berusaha mengumpulkan sisa tenaganya untuk menjawab
“Tidak Ibu, bukankah harusnya aku yang menelpon Ibu ?”
“Ibu tahu
kamu akan menelpon Ibu, tapi Ibu terlanjur rindu sama anak Ibu, kalau bisa Ibu
ingin sekali ketemu kamu nak”
Ayu yang
duduk disamping tempat tidur merenggut bantal lalu menutup wajahnya untuk
meredam suara tangisnya yang ia rasa akan segera meledak. Tak
disadarinya suara telepon itu sudah terputus, sedang kesedihan itu diam-diam mulai
berdamai dengan keadaan.
Detak jam
dinding yang menggantung menghadap jendela terdengar cukup jelas oleh kesunyian
lingkungan Kos yang mulai ditinggali penghuninya yang semuanya mahasiswi cantik
muda dan pintar. Suara itu menarik perhatian Ayu. Dilihatnya jam itu sudah
pukul 09.13. seiring dengan pulihnya kesadarannya ingatannya pun mulai pulih,
ia ada janji dengan seseorang. Sambil
berkemas Ayu mencoba menghubungi orang tersebut. Tapi teleponnya lebih dulu
berbunyi dan ternyata dia !
“Hallo Ayu,
kamu dimana ? sudah jam berapa ini ?”
Yang menelpon
marah bercampur cemas
Ayu segera
membuat gerakannya tiga kali lebih cepat
“I.. iya Rin
sorry Rin aduhhh.. maaf banget Rin Aku…”
Yang menelepon
langsung memotong
“Tiga puluh menit dari sekarang kamu harus nyampe, tidak alasan lagi Yu!”
“O…”
Belum juga sempat
Ayu menjawab, telepon langsung dimatikan.
------------------
Orang-orang
dengan kendaraan masing-masing tumpah ruah dijalan, dan Ayu dengan Motor Matiknya
ada diantara mereka. Berdesak-desakan berebut jalan yang terlalu sempit. Polusi
membumbung keatas, hitam mengancam kelangsungan hidup para pemilik polusi itu sendiri.
Tapi mungkin tak ada orang yang berpikir sejauh itu, termasuk Ayu yang terlihat
sangat gelisah dari caranya memegang stang motor. Pikirannya mungkin sedang
berpacu dengan waktu. Setiap kali motor terpaksa berhenti karena macet wajahnya
berubah gelisah. Jari-jarinya bergerak bergiliran mencoba melepaskan diri dari
kegelisahan majikannya. Matahari makin lama makin ganas, seolah marah ia
membakar makhluk bumi itu tanpa ampun. Yang dibakar terbirit-birit, melaju
kencang kerah tujuan masing-masing.
Rahayu Zahra Cita |
Akhirnya Ayu
sampai dirumah Rini, tapi telat sepuluh menit. Ketika bertemu,Ayu tak berani
menatap Rini, ia menutup matanya takut kalau-kalau disemprot oleh teman
didepannya. Rini geleng-geleng lalu bicara :
“Kenapa bisa
sesiang ini si Yu, tidak bisaanya kamu seperti ini!?”
Rini berlalu
tak mengindahkan sikap Ayu, ia keluar menuju garasi mobil. Ayu diam-diam
mengikutinya.
“Maaf Rin,
tadi pagi aku ditelepon sama ibu, aku sedih lalu aku tertidur”
Didalam mobil
Rini memilih diam seribu bahasa. Sementara Ayu harap-harap cemas dengan sikap
Rini yang demikian. Beberapa kali ia mencoba menarik perhatian Rini tapi
temannya itu tetap memilih fokus pada jalan didepannya.
“Mudah-mudahan
keterlambatan ini bukan merupakan pertanda buruk buat kamu”
Kata Rini
kemudian mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Ayu sangat senang dengan
kata-kata itu tanpa perduli pada maknanya. Putih wajah Ayu, ia hiasi dengan
senyum selebar dan semanis mungkin hanya untuk teman disampingnya.
“Setengah jam
lagi kita sampai dibandara, sepuluh menit kemudian pesawat berangkat”
Rini
menghembus nafas panjang, kecemasan semakin tampak pada wajah berkacamata itu.
Ayu yang
merasa membebani Rini dengan masalahnya mencoba segala cara menghibur Rini.
Diambilnya minuman buah naga dari tas, lalu disulanginya Rini dengan perlahan
seperti Ibu menyuapi anaknya.
Sampai diparkiran
mereka bergerak cepat-cepat, lalu berlari sampai terengah-engah.
“Satu tiket
tujuan Makasar”
Pinta Rini
masih terengah-engah pada wanita yang duduk dibalik kaca, posisinya kini setengah ruku’. Ia memandangi Ayu sedang
kepayahan menggendong tas dengan tangan kanannya sedang cover diseretnya dengan
tangan kirinya.
“Maaf mbak,
tiket tujuan Makasar telah habis”
Kata wanita berseragam itu dengan senyum yang dimanis-maniskan. Rini ambruk, tubuhnya jatuh
kelantai bersandar lutut. Ayu tahu apa yang tengah terjadi, dan diapun jatuh ia
lepaskan semua bebannya lalu beban itu dibuatnya sebagai sandaran. Ia terkapar
melepas lelah tak peduli lagi dengan orang disekitarnya.
Kedua sahabat itu kini saling merangkul berjalan lunglai menuju arah dari mana mereka berlari.“Makan dulu yuk Rin, lapar nih”
Bujuk Ayu
mencoba menyembunyikan kesedihannya. Rini tahu, lalu ia jawab
“Jangan putus
asa Yu, Tuhan tidak suka pada orang yang putus asa”
Kedua orang
yang kelelahan itu berjalan gontai, kepala mereka menunduk dan mereka hanya
berjalan dengan mengandalkan sisa tenaga yang mereka miliki. Tiba-tiba mereka
terhenti, demi melihat sepasang sepatu berwarna hitam mencengkram erat diatas
lantai. Ketika pandangan mereka arahkan keatas, terlihatlah sebuah wajah mirip deb
kolektor dengan kepala pelontos, mata tertutupi oleh kacamata hitam dan kumis
tebal yang bergerak-gerak naik. Sontak Ayu dan Rini terperanjat kaki mereka
melangkah kebelakang siap siaga. Ketika wajah itu menyeringai tampaklah sederet
gigi kuning bercampur hitam mungkin kebanyakan mengisap rokok dan minum kopi.
Ayu takut lalu sembunyi dibelakang Rini, sedang Rini berusaha menampakkan
keberaniannya.
“Mau kemana
neng?”
Kata orang
itu ramah sambil melepas kacamata hitamnya dan senyum dilebarkannya. Hilanglah
kesan seram pada wajah itu dan Rini perlahan mengendorkan sikap siaga.
“Mau pulang”
Jawab Rini
dengan senyum yang dipaksakan.
“Tidak jadi
berangkat neng?”
Lelaki
separuh baya itu mengambil sesuatu dari kantong jaketnya bagian dalam lalu
menyodorkannya pada Rini. Rini memperhatikan tumpukan kertas yang disodorkan
padanya, pada kertas itu Rini dapat membaca dengan jelas : Tiket Pesawat Tujuan
Makasar nama pesawat dan jam keberangkatannya.
“Berapa?”
Tanya Rini
pura-pura tak tertarik. Si Calo tersenyum sebentar lalu
“…. Murah aja
neng, dari pada hangus”
Setelah
mengetahui harga, Rini merasa lega. Dipeluknya Ayu sambil berbisik
“Uang kamu lebih dari cukup Yu, harga tiketnya jauh dibawah harga normal, dan yang terpenting kamu akan segera bertemu Ibu, ternyata keterlambatanmu membawa keberuntungan”
Ayu membalas
pelukan Rini sambil menangis haru. Rini mengambil tiket dan membayarnya. Rini
mengantar Ayu sampai ruang tunggu, dilihatnya punggung ayu yang berjalan menuju pesawat seolah tak rela melepaskan kepergiannya. dan kini ia sudah rindu bahkan sebelum Ayu meninggalkannya dari radius empat puluh langkah. Sebelum berpisah ia sudah rindu.
------------------
Ini untuk
pertama kalinya Ayu berada didalam pesawat terbang. Jelas ia gugup. Dilihatnya
keluar jendela, awan-awan halus mengapung damai dan bumi dibawah sana terlihat
jauh lebih indah, Ayu heran dan sempat bertanya dalam hati “Benarkah itu
bumi yang selama ini aku tinggali ? bukankah ia kumuh, tak beraturan dan ramai
?”
Rahayu Zahra
Cita, biasa dipanggil Ayu, mahasiswi semester akhir yang mendapat beasiswa dari Universitas Indonesia. Penghobi tanaman dan membaca ini memiliki cita-cita yang ia impikan sejak kecil. semenjak duduk di sekolah Taman Kanak-Kanak, ketika guru bertanya "Apa cita-cita mu?" Ayu menjawab itulah cita-citanya. sampai sekarang, sampai ia menjadi calon kuat pemegang posisi penting di perusahaan besar cita-citanya tetap itu. tidak berubah dari yang tadinya jadi dokter sekarang jadi penyanyi, tidak. Cita Rahayu Zahra Cita hanya satu, memberangkatkan haji Ayah dan Ibu.
-- Sekian --
Lemah Abang - Bekasi
01 Juni 2016
0 Komentar
Penulisan markup di komentar