Karaeng
dalam bahasa Makasar artinya Raja atau Bangsawan. Nama itulah yang diamanatkan
orang tua padaku. Aku laki-laki asli Makasar, umurku hampir lima belas tahun
dan aku masih selalu bertanya-tanya kenapa ayahku memberikan nama itu ? kalaupun
ayah ingin memberikan nama Karaeng kepada anaknya kenapa tidak kepada kakakku
atau adikku? apakah aku tampak seperti raja ? sudah ribuan kali aku berdiri
didepan cermin sepanjang hidupku, belum sekalipun aku merasa aku tampak seperti
raja. Bahkan seperti pegawai kelurahan pun tidak.Segala jenis cermin sudah aku
coba, cermin datar di ruang tamu rumah
kami, cermin cembung di tikungan jalan, dan cermin cekung pada kuali
masak ibuku saat baru dicuci.
Aku
Karaeng, tubuhku pendek, kurus, kulitku gosong karena seumur hidupku kuhabiskan
di laut dan mataku redup. Rambutku… ah, sama tidak menariknya dengan bagian
tubuhku yang lain. Aku tidak merasa ada bagian dari diriku yang menarik untuk
dilihat dan teman-temanku kompak sepakat. Kalau sudah soal fisik, aku tak
pernah mendapat pujian dari temanku seperti misalnya : “wah rambutmu bagus
sekali mirip artis korea!” atau “Wajah tampan mu mengingatkanku pada penyanyi
idolaku Afgan!” atau ketika sedang berjalan di pasar ada yang tiba-tiba bilang
“Eh, kamu artis yang main di film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ya”
berpikir sejenak berusaha mengingat-ingat lalu menjerit “Herjunot Ali !” “.
Tapi
ada satu alasan teman-temanku dan orang disekitar memujiku dengan sukarela. Dan
itu adalah alasan satu-satunya, yaitu :
Aku Karaeng belum pernah pacaran dan aku Hafal Al-Qur’an.Ya, tentu saja bukan karena aku belum pernah pacaran yang memang sudah sewajarnya aku belum pernah pacaran. Perempuan yang matanya rabun jauh pun masih bisa melihat betapa tidak menariknya aku ini.dan tentu saja, karena Al-Qur’an lah mereka memujiku tanpa keluar serupiah pun uang ku menyogok mereka. Aku hafal Al-Qur’an 30 Juz dan aku hafal dengan baik. Hafalanku fasih. Dikampungku mungkin hanya ada seorang pemuda yang hafal Al-Qur’an 30 juz dengan hafalan baik dan fasih yaitu aku, Karaeng.
Genap
umurku 15 tahun, ayahku mengirimku ke negeri serambi mekkah, Aceh. Ia
menitipkanku kesebuah pesantren milik sahabatnya disana. Pesantren Teuku Umar
namanya, persis nama pemiliknya. Aku setuju saja, lagi pula tidak ada orang
yang menahanku disini. Kecuali kucing hitam abu orange muda itu, pasti ia akan
kehilanganku karena aku satu-satunya yang mau menyisakan tulang ayam untuknya.
Tadinya aku ingin membawanya bersamaku, tapi tak ada orang ketika bepergian
membawa kucing. Lagipula pemilik kapal tidak akan membolehkanku membawanya ikut
serta.
Tanggal
lima belas Syawal pagi hari aku berangkat. Kedua orang tuaku mengantarku ke
pelabuhan kecil di pare-pare. Dari pelabuhan kecil ini aku akan berlayar ke
Surabaya dengan kapal penumpang yang ukurannya tidak bisa dibilang besar tapi
tidak kecil juga. Dari Surabaya aku akan berlayar ke Batavia, dari Batavia ke
Padang dan dari Padang langsung menuju Banda Aceh. Empat perjalanan satu
tujuan, demikian kira-kira kalimat yang tepat untuk perjalanan yang akan aku
tempuh.
Perjalanan yang membawa raga serta harapanku, membawa semua yang kumiliki, semua yang bisa dan yang boleh aku bawa pergi jauh. Jauh dari orang yang mengenalku, jauh dari orang tuaku.Tapi selama ada riak air laut dalam jangkauan pendengaranku, tak ada yang bisa membuatku risau. Aku karaeng, aku belum pernah pacaran, hafal Al-Qur’an dan aku anak laut.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar