Untuk
menulis satu huruf saja kadang rasanya seperti ingin mengucapkan cinta didepan
gadis cantik, didepan hidungnya persis. Ide itu seperti hidayah kalau
dipikir-pikir, kalau lagi insyaf ya sholat kalau lagi kumat ya jadi penjahat.
Itu ide kalau dipikir-pikir, kalau tidak dipikir-pikir mungkin tidak akan
seperti apapun. Padalah sang maestro Pramudya Ananta Toer pernah bilang :
Tulisan itu seperti tali, ia mampu mengikat sejarah.Bahkan ia mampu bertransformasi menjadi sejarah itu sendiri dan memasukkan sejarah baru kedalamnya. Beda sekali dengan iklannya Joshua : Masa jeruk minum jeruk ?
Sherina
sebenarnya sadar betul deadline yang diberikan oleh atasannya Rafi Ahmad
tinggal beberapa hari lagi. Namun apa daya, sejak tugas itu diberikan kepada
Sherina dua minggu yang lalu tak seekor pun burung ide hinggap di kepalanya.
Jangankan hinggap melintas pun tidak. Dan untuk yang kesekian kalinya Rafi
mengingatkan “Sherina! Kapan tulisan kamu selesai?” sambil menunjuk-nunjuk jam
tangan mewahnya. Dan untuk kesekian kalinya Sherina hanya bisa menjawab “I..
iya pak, saya sedang berusaha” tak mau kalah dengan atasan sendiri Sherina
pura-pura sibuk mencari referensi menggunakan smartphone terbaru miliknya :
Lenovo Vibe K4 Note.
Tiba
dirumah Sherina berjalan gontai, ia membuka pintu rumah dengan setengah hati.
Adipati Dolken suaminya, sudah menunggu di kamar. Seperti biasa, laki-laki
tampan mirip pemain film itu tiduran dikasur sambil membaca buku. Dari cover
depannya mudah ditebak itu buku apa, novel. Judulnya : Ayat-ayat Cinta 2.
Sherina melemparkan tasnya kesembarang tempat, lalu menjatuhkan diri diatas
kasur. Sedang kepalanya bersandar diatas dada suaminya, matanya menatap jauh
menembus plafon dan genteng rumah mereka. Adipati Dolken membiarkan istrinya
asik dengan lamunannya, sementara ia sendiri asik dengan novel ditangannya. Ia
tengah membaca bagian paling asik dari cerita itu yaitu :
Saat keluarga Maria mengajak Fahri dan anak satu kosan makan malam di restoran dekat sungai Nil untuk merayakan ulang tahun Madame Nahed istri Tuan Boutros orang tua Maria.
“Kang
Mas Adipati..” Sherina sengaja menyebut nama suaminya dengan takjim untuk
merebut perhatian suaminya itu.
“Ada
apa Sherina Munaf belahan jiwaku” Jika suaminya menjawab demikian tandanya ia
berhasil.
“Aku
ada sedikit masalah Mas” ucap Sherina manja sambil menggelayutkan kepalanya
diatas bahu suaminya.
“Masalah
apa sayang ? katakana saja, kamu tahu kan aku punya kantong ajaib”
“Maaass..
aku serius”
“iya
sayaaang, aku tahu kamu serius. Makanya aku bercanda supaya kamu tidak terlalu
serius” Adipati menjewer hidung istrinya manja. Sherina tersenyum senang.
“Aku
ada masalah kerjaan Mas, Tugas Cerpen yang diberikan atasanku pak Rafi Ahmad
belum juga rampung padahal deadlinenya besok..”
“Hah..
besok!”
“Lusa..”
“Maksud
kamu besok lusa sayang ku?”
“Iya,
kenapa Mas jadi panik sampai gigit bantal segala”
Sebelum
menjawab Adipati sudah melempar bantal dari mulutnya.
“Ti..
tidak sayang, aku hanya sedikit khawatir dengan karir kamu” senyum sepuluh
detik, lalu sedih
“Kenapa
Kang Mas tiba-tiba care dengan karir aku, bukannya selama ini Mas ingin aku
diam di rumah mengurus rumah saja ?” tatapan Sherina pada suaminya kali ini
adalah tatapan menduga-duga dicampur sedikit rasa tak percaya lebih tepatnya
sedikit aneh.
“Sayang,
kebutuhan hidup sekarang ini menjalar kayak ubi jalar dan merambat kayak ubi
rambat. Sementara harga tak pernah mau kalah dengan Monas, maunya tinggiiii
saja. Parahnya lagi, gaji tampak seperti melorot, kayak kolor lepas karetnya.
Masih mendingan pemain iklan susu tumbuhnya kesamping, lah, gaji kita tumbuhnya
ke bawah..”
“So…”
“I
need you to help us honey, kita berdua harus tetap berkarir supaya tetap bisa
bertahan hidup di tengah kota yang serba mahal ini”
Sherina
merasa pendapat suaminya yang barusan ia dengar sedikit berlebihan. Dengan
perasaan yang masih tak percaya ia berpendapat : pasti ada alasan lain, dan
yang baru saja ia dengar hanyalah pengalihan. Dirumah ini ekonomi tak pernah
dipermasalahkan semenjak mereka menikah dua tahun yang lalu dan setidaknya
hingga saat ini. Alih-alih bertanya lebih lanjut, Sherina lebih memilih kembali
ke topik awal.
“Jadi
Mas mau membantuku ?”
“Ini aku Doraemon, aku akan selalu membantumu Nobita..” Suara Adipati sama sekali tidak mirip Doraemon. Padahal ia sudah berusaha keras, tapi suaranya memang terlalu tinggi mirip kucing ditimpa blender.
“Bantu
aku dong Mas, jangan bercanda terus..” Di tengah keseriusan wajah Sherina Munaf
tampak merona, cantik sekali.
“Hmm,
bagaimana ceritanya engkau terdampar di hutan ini nona, mari kuantar pulang ke
rumah” Kali ini Adipate Dolken meniru peran Si Buta dari Gua Hantu, ia
pura-pura buta, pura-pura memegang tongkat juga pura-pura memiliki monyet di
bahunya. Aktingnya oke, kecuali saat mengelus monyet, lebih terlihat seperti
menggaruk kepala. Kalau saja ia mengelus monyet sambil jongkok, yang terlihat
bukan lagi si Buta dari gua hantu melainkan Tarzan nyasar ke kamar kembang desa.
Sebenarnya
tingkah Adipati yang demikian bukan tanpa alasan, sebagai seorang suami dari
seorang pekerja seni tepatnya penulis fiksi, Adipati memiliki cara unik untuk meretas kebuntuan
istrinya. Tentu saja Adipati tidak serta merta memahami Sherina yang cenderung
menggunakan otak kanan sementara Adipati sendiri yang notabene adalah ahli
mesin tentu lebih sering menggunakan otak kiri. Tolak menolak sering terjadi
hingga akhirnya saling menerima. Banyak jalan setapak yang sudah ditempuh, hingga
akhirnya bertemu dan berada di satu jalan.
“Aha,
aku punya ide!” suara Sherina riang
“Benar
kah..” Adipati meloncat menatap Sherina, tak kalah riang
Hening..tik.tok.tik.tok.
cukup lama, sampai suara jam dinding jelas ditelinga. Adipati menunggu dengan
wajah sabar dan mata berbinar.
“Aku
resign”
Kembali
hening. Lebih lama lagi, sampai buku ditutup, lampu dimatikan dan tak ada
percakapan sampai esok pagi.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar