Ada
dua kata yang apabila dibahas tidak akan ada habisnya, dua kata itu apalagi
kalau bukan cinta dan rokok.
Menariknya dua kata ini sama-sama terdiri dari lima huruf. Dan keduanya
sama-sama nikmat setidaknya menjanjikan kenikmatan setuju ? tapi awas selalu
ada jurang dibalik indahnya bukit, siapa berani jatuh cinta harus hati-hati
dengan patah hati. Siapa berani merokok harus berani bertemu mati, berlebihan ?
mungkin iya terutama bagi perokok yang sudah menikmati nikmatnya candu yang
masuk ke paru-paru dan rasa bangga sebagai laki-laki ketika asap keluar dari
hidung. Padahal seorang perokok saat asap keluar dari hidungnya jika
bayangannya tertangkap pada dinding ia tidak lebih seperti banteng kurus lagi
mengamuk. Bukan banteng Spanyol nan gagah, tapi banteng kurus yang hampir lupa
rasa nikmat rumput hijau.
Iklan Rokok Vs Iklan Anti Rokok
Berlebihan
memang karena tidak ada orang hari ini merokok besoknya mati. Jadi iklan rokok yang memasukkan unsur kematian
saya rasa memang berlebihan. Perokok yang rata-rata berusia remaja – dewasa tak
mudah ditakut-takuti dengan kematian apalagi penyakit. Seharusnya iklan anti
rokok lebih kreatif daripada iklan rokok. Pembaca tahukan iklan rokok di televisi
sekarang ini sudah menguasai pola pikir masyarakat bahwa merokok itu keren,
cool, setia kawan, mandiri, apa lagi ? iklan
anti rokok harus bisa juga bahkan harus lebih kreatif misalnya : pasangan
suami istri akhirnya naik haji setelah suaminya berhenti merokok atau seorang
pemuda bukan perokok berwajah pas-pasan menikah dengan wanita cantik mirip
Chelsea Island. Itu kan keren. Sangat memotivasi. Tapi sekali lagi itu,
seharusnya. Toh sampai saat ini pemerintah masih enggan mengeluarkan uang untuk
membuat iklan masyarakat semacam itu.
Mengajak
masyarakat berhenti merokok dengan mengharuskan perusahaan rokok menampilkan
gambar seram pada bungkus rokok terbukti tidak efektiv. Buktinya pemilik usaha
rokok tetap punya uang banyak untuk membuat iklan keren di televisi dan banner
besar di perempatan jalan, jalan tol, jalan kota, dan ditempat strategis
lainnya. Alasannya itu tadi para perokok ini tidak bisa ditakut-takuti dengan
hal-hal semacam itu bahkan misalkan pemerintah menyuruh perusahaan rokok
menempelkan gambar seorang kakek meregang nyawa sementara tangannya memegang
rokok pada bungkus dagangan mereka saya ragu konsumen enggan membeli rokok. Yang
ada paling bungkus rokok itu ditempel gambar artis kalender berbikini atau
setidaknya pakai rok mini. Satu hal yang mungkin harus kita sadari benar
orang-orang yang kita hadapi ini adalah pecandu, pecandu rokok. Seorang pecandu
meskipun pecandu rokok tetaplah namanya seorang pecandu. Sekali lagi : Pecandu!
Isu
yang merebak sekarang ini adanya wacana pemerintah menaikkan harga rokok sebesar 150%. Harga rokok yang tadinya berkisar antara
12.000 – 20.000 akan naik menjadi 50.000!!! wow. Misalkan benar terjadi saya
tidak keberatan keliling GBK satu putaran sambil gendong jokowi. Masalahnya ide
ini meski sebagian masyarakat menyambut dengan nada setuju tidak sedikit pula
yang pesimis bahkan ada juga yang berani mengatakan ini cuma OMDO, omong doang.
Jadi sekali lagi para perokok tidak terlalu risau dengan issu macam begini. Mereka,
para perokok itu hanya menyikapi berita itu dengan senyum yang mengambang dan
asap rokok yang menggulung memenuhi langit-langit kamar. Menariknya bukan hanya
perokok saja yang menganggap berita kenaikan harga jual rokok ini sebagai angin
lalu, orang yang bukan perokok juga meski mereka setuju tapi soal apakah akan
benar jadi kenyataan hanya sedikit keyakinan mereka. Hal ini bisa dimaklumi
mengingat ini rencana pemerintah bukan rencana Tuhan yang niscaya.
Andai Benar Harga Rokok Naik 50 Ribu
Sedia
payung sebelum hujan, sebelum harga rokok naik masyarakat sudah siap sedia
dengan segala kemungkinannya. Ada yang terang-terangan akan berhenti merokok seandainya harga
sebungkus rokok 50.000 atau setidaknya menghemat dari yang tadinya beli
perbungkus jadi beli per batang. Ada yang melirik alternatif lain seperti
tembakau gulungan, rokok elektrik, rokok kawung, kecubung, dll. Ada juga yang
sudah berani berspekulasi dengan menimbun komoditi ini untuk mendapatkan
keuntungan berlipat ganda. Rentetan
asumsi mulai bertebaran bagai buah dukuh
tumpah dari keranjang. Asumsi yang paling sering saya lihat adalah banyaknya
penganguran dan kriminalitas semakin meningkat. Ada juga yang berasumsi akan
ada rokok oplosan seperti dari jenggot jagung atau dari daun singkong atau biji
ketumbar, ada-ada aja ya. Akan terjadi efek domino contohnya kenaikan harga
rokok akan disusul harga komoditi lain sembako misalnya. Ada juga yang bilang
nilai puntung rokok akan naik
seperti yang sempat heboh pada tahun delapan puluhan. Akan banyak rokok ilegal.
Rokok kw mendominasi pasar.
Rokok 1 Bungkus 50.000 Bos! |
Diluar
asumsi ada juga berbagai solusi yang patut dipertimbangkan. Misalnya harga
rokok naik menjadi 50.000 terus tidak boleh dijual eceran atau perbatang untuk
memangkas perokok dikalangan pelajar dari sekolah dasar - mahasiswa. Aturan tidak
merokok ditempat umum agar dipertegas, misalnya jika kedapatan merokok ditempat publik identitasnya di
stamp atau simnya ditahan, dsb. Cukainya yang dinaikkan bukan harga rokok,
karena pemerintah tidak bisa mengatur harga komoditi non sembako. Agar diberikan
sosialisasi lebih dulu karena hukum di Indonesia menganut asas fictie. Kalau mau
menaikkan harga rokok jangan tanggung-tangung 100.000 sebungkus.
Sebuah
pertanyaan yang mungkin sulit dijawab pemerintah, jika benar harga rokok
50.000/bungkus lalu pada siapa uang itu akan berlabuh pada perusahaan rokok atau pada pemerintah ?
Saya
juga pernah merokok bahkan waktu masih SMP saya sudah merokok tapi hanya
ikut-ikutan sama dibeliin teman. Dan sekarang setelah belasan tahun saya sudah
lupa gimana rasanya merokok apakah masih seperti dulu atau sudah berubah ? Tapi
benar kata sebagian orang, rokok hanyalah salah satu dari penyebab buruknya
kondisi kesehatan manusia di jaman ini diluar rokok masih ada junk food, gaya
hidup yang buruk, dan lingkungan yang buruk. Dengan kata lain rokok bukanlah
penentu seseorang akan masuk neraka atau tidak namun demikian seorang perokok
juga harus mengerti makna toleransi. Merokok di tempat umum hendaknya dihindari
apalagi disana ada bayi dan balita, ada ibu hamil, ada orang yang mengidap penyakit
asma dsb, kan kasihan.
Ada
pendapat yang mengatakan rokok adalah tradisi
yang membudaya, yang ini pun saya tidak dapat menyangkalnya. Di kampung saya,
rokok ini sudah semacam simbol pergaulan dan komoditas wajib pada setiap acara.
Jadi kalau hendak mengadakan acara tahlilan, hajatan, sunatan, kawinan, atau
apapun satu dua slop rokok harus ada, mereknya pun harus di campur karena selera
majelis beda-beda, ada yang suka rokok kretek ada yang memilih rokok filter. Dalam
pergaulan, jangan harap suasana bisa cair kalau sebungkus rokok belum keluar
dari kantong. Orang perantau yang tidak tahu adat ini akan dikucilkan, serius.
Tapi
sekali lagi tradisi seperti itu bukanlah trandisi yang patut di lestarikan,
bukan juga tradisi yang bisa dibanggakan bagi anak cucu.
Btw,
presiden Jokowi merokok tidak ya ?
0 Komentar
Penulisan markup di komentar